Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman
II - Materialisme dan Idealisme
Masalah fundamental yang besar dari semua filsafat, teristimewa
dari filsafat yang akhir-akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan
antara pikiran dengan keadaan. Sejak zaman purbakala, ketika
manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh
mereka sendiri, di bawah rangsang khayal-khayal impian [2-1]
mulai percaya
bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas-aktivitas tubuh
mereka,
tetapi, aktivitas-aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami
tubuhnya
dan meninggalkan tubuh itu ketika mati - sejak waktu itu manusia
didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan
dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa
itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan
untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri baginya. Maka itu
timbul ide tentang kekekal-abadian, yang pada tingkat. perkembangan
waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi sebagai
takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan,
dan sering sekali, seperti dikalangan orang-orang Yunani, sebagai
malapetaka
yang sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur,
tetapi kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum yang lazim
tentang apa yang harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya
nyawa itu diakui, sesudah tubuh mati, menuju secara umum kepada
paham tentang kekekal-abadian perorangan. Dengan cara yang
persis sama, lahirlah dewa-dewa pertama, lewat personifikasi
kekuatan-kekuatan
alam. Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutnya dewa-dewa itu makin
lama makin mengambil bentuk-bentuk diluar-keduniawian, sehingga akhirnya
lewat proses abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses penyulingan,
yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan intelek
manusia, dari dewa-dewa yang banyak jumlahnya itu, yang banyak
sedikitnya
terbatas dan saling-membatasi, muncul di dalam pikiran-pikiran manusia
ide tentang satu tuhan yang eksklusif dari agama-agama monoteis.
Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan
antara jiwa dengan alam - masalah yang terpenting dari seluruh
filsafat - mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya
di dalam paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan.
Tetapi masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan
seluruh ketajamannya, dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya,
hanya setelah umat manusia di Eropa bangun dari kenyenyakan tidur
yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani. Masalah kedudukan pikiran
dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang, sepintas lalu,
telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman
Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam - masalah
itu, dalam hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah
Tuhan menciptakan dunia ataukah dunia sudah ada sejak dulu
dan akan tetap ada di kemudian hari?
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini
membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan
bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan
karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam
satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel,
misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil
daripada dalam agama Nasrani - merupakan kubu idealisme. Yang
lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam
berbagai mazhab materialisme.
Dua pernyataan ini, idealisme,dan materialisme, mula-mula tidak mempunyai
arti lain daripada itu; dan disinipun kedua pernyataan itu tidak
digunakan dalam arti lain apapun. Kekacauan apa yang timbul
bila sesuatu arti lain diberikan kepada kedua pernyataan itu akan
kita lihat di bawah ini.
Tetapi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan mempunyai
segi lain lagi - bagaimana hubungan pikiran kita tentang dunia
di sekitar kita dengan dunia itu sendiri ? Dapatkah pikiran kita
mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita menghasilkan pencerminan
tepat dari realitas di dalam ide-ide dan pengertian-pengertian kita tentang
dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa filsafat masalah ini
dinamakan masalah identitas pikiran dengan keadaan, dan jumlah
yang sangat besar dari para ahli filsafat memberikan jawaban
yang mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel, misalnya, pengiyaanya
sudah jelas dengan sendirinya; sebab apa yang kita kenal di dalam
dunia nyata adalah justru isi-pikirannya - yang menjadikan dunia
berangsur-angsur suatu realisasi dari ide absolut yang sudah ada di sesuatu
tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia dan sebelum dunia.
Tetapi adalah jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran
dapat mengetahui isi yang sejak semula adalah isi-pikiran. Adalah
sama jelasnya bahwa apa yang harus dibuktikan disini sudah dengan
sendirinya terkandung di dalam premis-premisnya. Tetapi hal itu sekali-kali
tidak merintangi Hegel menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya
tentang identitas pikiran dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya,
karena tepat bagi pemikirannya, adalah satu-satunya yang tepat,
dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti membuktikan keabsahannya
dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan filsafatnya dari
teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai dengan
prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat
pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.
Di samping itu masih ada segolongan ahli filsafat lainnya - mereka
yang meragukan kemungkinan pengenalan apapun, atau sekurang-kurangnya
pengenalan yang selengkap-lengkapnya, tentang dunia. Di dalam
golongan ini, diantara para ahli filsafat yang lebih modern, termasuk
Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan peranan yang sangat
penting dalam perkembangan filsafat. Apa yang menentukan dalam
menyangkal pandangan ini sudah dikatakan oleh Hegel, sejauh ini
mungkin dari pendirian idealis. Tambahan-tambahan materialis yang diajukan
oleh Feuerbach, adalah lebih bersifat cerdik daripada mendalam.
Penyangkalan yang paling kena terhadap pikiran aneh ini seperti
terhadap semua pikiran filsafat yang aneh lainnya ialah praktek,
yaitu eksperimen dan industri. Jika kita dapat membuktikan ketepatan
konsepsi kita tentang suatu proses alam dengan membikinnya
sendiri, dengan menciptakannya dari syarat-syaratnya dan malahan membuatnya
berguna untuk maksud-maksud kita sendiri, maka berakhirlah sudah “konsepsi”
Kant yang tak terpahami itu tentang “benda-dalam-dirinya”
Zat-zat kimia yang dihasilkan di dalam tumbuh-tumbuhan dan di dalam tubuh
binatang tetap merupakan “benda-dalam-dirinya” itu sampai
ilmu kimia organik mulai menghasilkan zat-zat itu satu per satu;
sesudah itu “benda-dalam-dirinya” menjadi benda untuk kita,
seperti, misalnya, alizarin, zat warna dari tumbuh-tumbuhan Rubiantinetorum,
yang kita tidak susah-susah lagi menghasilkannya di dalam akar-akar tumbuh-tumbuhan
itu di ladang, tetapi membuatnya jauh lebih murah dan sederhana
dari tir batubara. Selama 300 tahun sistim tata surya Copernikus
merupakan hipotesa dengan kemungkinan benarnya seratus, seribu
atau sepuluh ribu lawan satu, meskipun masih tetap suatu hipotesa.
Tetapi ketika Leverrier, dengan bahan-bahan yang diberikan oleh sistim
itu, bukan hanya menarik kesimpulan tentang keharusan adanya suatu
planet yang tidak diketahui, tetapi juga menghitung kedudukan
yang mesti ditempati oleh planet itu di langit, dean ketika Gallilei
benar-benar menemukan planet itu, [2-2] maka terbuktilah kebenaran
sistim Copernikus itu. Jika, sekalipuni demikian, kaum Kantian
Baru sedang mencoba menghidupkan kembali paham Kant di Jerman
dan kaum agnostik menghidupkan kembali paham Hume di Inggris (dimana
paham itu sesungguhnya belum pernah lenyap), maka, mengingat bahwa
secara teori dan praktek bantahan terhadap paham-paham itu sudah lama
dicapai, hal ini secara ilmiah merupakan kemunduran dan secara
praktis hanya merupakan cara kemalu-maluan dalam menerima materialisme
dengan diam-dima, sambil mengingkarinya di depan dunia.
Tetapi selama periode yang Panjang ini, yaitu sejak Descartes
sampai Hegel dan sejak Hobbes sampai Feuerbach, para ahli filsafat
sekali-kali tidak didorong, seperti yang mereka pikirkan, oleh
kekuatan akal murni semata. Sebaliknya, yang betul-betul sangat mendorong
mereka maju ialah kemajuan yang perkasa dan semakin cepat dari
ilmu-ilmu alam dan industri. Di kalangan kaum materialis hal ini terang-benderang
terlihat dipermukaan, tetapi sistim-sistim idealis juga semakin banyak
mengisi diri dengan isi materialis dan mencoba secara panteis
mendamaikan pertentangan antara pikiran dengan materi. Jadi,
akhirnya, mengenai metode dan isi sistim Hegelian hanyalah mewakili
materialisme yang dijungkirbalikkan secara idealis.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa Starcke dalam karakterisasinya
tentang Feuerbach pertama-tama menyelidiki pendirian Feuerbach dalam
hubungan dengan masalah fundamental ini, yaitu hubungan pikiran
dengan keadaan. Sesudah mengajukan suatu pengantar singkat,
dalam mana pendirian-pendirian ahli filsafat yang terdahulu, terutama sejak
Kant, dilukiskan dalam bahasa filsafat yang secara tidak semestinya
berat, dan dalam mana Hegel, oleh karena terlalu formalistis berpegang
teguh pada bagian-bagian tertentu dari karya-karyanya, pendapat jauh lebih
sedikit daripada yang patut baginya, menyusul suatu penguraian
mendetail tentang jalan perkembangan “metafisika” Feuerbach
itu sendiri, sebagaimana jalan ini berturut-turut dicerminkan di dalam
tulisan-tulisan filsuf itu yang ada sangkut pautnya disini. Penguraian
itu disusun dengan rajin dan terang; hanya, seperti halnya seluruh
buku itu, penguraian itu diisi dengan beban fraseologi filsafat
yang disana-sini bukannya sama sekali tidak dapat dihindari dan
yang pengaruhnya lebih mengganggu semakin kurang pengarangnya
berpegang pada cara pengungkapan mazhab yang itu-itu juga, atau
bahkan cara pengungkapan Feuerbach sendiri, dan sernakin banyak
dia menyisipkan ungkapan-ungkapan aliran-aliran yang sangat berbeda-beda, terutama
aliran-aliran yang kini merajalela dan, menamakan dirinya aliran filsafat.
Jalan evolusi Feuerbach ialah jalan evolusi seorang Hegelian
- memang, tidak pernah seorang ortodoks Hegelian yang sempurna
- menjadi seorang materialis; suatu evolusi yang pada tingkat
tertentu mengharuskan adanya pemutusan hubungan seluruhnya dengan
sistim idealis dari pendahulunya. Dengan kekuatan yang tak tertahan,
Feuerbach akhirnya didorong menginsafi, bahwa adanya “ide absolut”
pra-dunia dari Hegel, “adanya terlebih dulu kategori2 logis”
sebelum dunia ada, adalah tidak lain daripada sisa2 khayalan dari
kepercayaan tentang adanya pencipta diluar-dunia; bahwa dunia
materiil yang dapat dirasa dengan panca indera, yang kita sendiri
termasuk di dalamnya, adalah satu2nya realitas; dan bahwa kesadaran
serta pemikiran kita, betapa diatas-panca-inderapun nampaknya,
adalah hasil organ tubuh yang materiil, yaitu otak. Materi bukanlah
hasil jiwa, tetapi jiwa itu sendiri hanyalah hasil tertinggi
dari materi. Ini sudah tentu adalah materialisme semurni-murninya.
Tetapi setelah sampai sedemikian jauh, Feuerbach tiba2 berhenti.
Dia tidak dapat mengatasi purbasangka filsafat yang lazim, purbasangka
bukan terhadap barangnya tetapi terhadap nama materialisme.
Dia berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar dari bangunan
hakekat dan pengetahuan manusia; tetapi bagi saya materialisme
bukanlah seperti bagi ahli fisiologi, seperti bagi sarjana ilmu2
alam dalam arti yang lebih sempit, misalnya, bagi Moleskhott,
dan memang suatu keharusan menurut pendirian dan pekerjaan mereka,
yaitu bangunan itu sendiri. Ke belakang saya setuju sepenuhnya
dengan kaum materialis; tetapi ke depan tidak.”
Disini Feuerbach mencampurbaurkan materialisme yang merupakan
pandangan-dunia umum yang bersandar pada pengertian tertentu tentang
hubungan antara materi dengan pikiran. dengan bentuk khusus dalam
mana pandangan-dunia ini dinyatakan pada tingkat sejarah tertentu,
yaitu dalam abad ke-18. Lebih daripada itu, dia mencampurbaurkannya
dengan bentuk yang dangkal, yang divulgarkan, dalam mana materialisme
abad ke-18 hidup terus hingga hari ini di dalam kepala2 para ahli
ilmu2 alam dan fisika, bentuk yang dikhotbahkan oleh Bükhner,
Vogt dan Moleskhott pada tahun limapuluhan dalam perjalanan
keliling mereka. Tetapi. sebagaimana idealisme mengalami sederet
tingkat2 perkembangan, begitu juga materialisme. Dengan setiap
penemuan yang membuat zaman, sekalipun di bidang ilmu2 alam, materialisme
harus mengubah bentuknya, dan setelah sejarah juga dikenakan
perlakuan materialis, maka disinipun terbuka jalan raya perkembangan
yang baru.
Materialisme abad yang lampau adalah terutama mekanis, sebab pada
waktu itu, di antara semua ilmu2 alam hanya ilmu mekanika, dan
memang hanya ilmu mekanika benda2 padat - langit dan bumi - pendek
kata, ilmu mekanika gravitasi telah mencapai titik akhir tertentu.
Ilmu kimia pada waktu itu baru berada dalam masa kanak2nya, dalam
bentuk phlogistis. [2-3] Biologi masih berlampin; organisme2 tumbuh2an
dan hewan baru saja diperiksa secara kasar dan dijelaskan sebagai
akibat sebab2 mekanik semata. Seperti hewan bagi Descartes, begitu
juga manusia bagi kaum materialis abad ke-18 adalah suatu mesin.
Penerapan secara eksklusif norma2 mekanika ini pada proses2
yang bersifat kimiawi dan organik - yang di dalamnya hukum2 mekanika
memang berlaku tetapi didesak kebelakang oleh hukum2 lain yang
lebih tinggi - merupakan keterbatasan khusus yang pertama tapi
yang pada waktu itu tak terhindarkan dari materialisme klasik Perancis.
Keterbatasan khusus yang kedua dari materialisme ini terletak
dalam ketidakmampuannya memahami alam semesta sebagai suatu proses,
sebagai materi yang mengalami perkembangan sejarah yang tak
putus2nya. Ini sesuai dengan tingkat ilmu2 alam pada waktu itu,
dan dengan cara berfilsafat secara metafisik, yaitu antidialektik,
yang bertalian dengan tingkat ilmu2 itu. Alam, sejauh yang sudah
diketahui, berada dalam gerak yang kekal-abadi. Tetapi menurut
ide2 pada waktu itu, gerak itu berlangsung, juga dengan kekal-abadi,
dalam lingkaran dan karenanya tidak pernah berpindah dari tempatnya:
gerak itu berulang-ulang menghasilkan hasil yang itu2 juga. Pandangan
itu pada waktu itu tidak dapat dielakkan. Teori Kant tentang
asal-usul tata surya [2-4] baru saja dikemukakan dan masih dianggap
sebagai suatu barang ajaib belaka. Sejarah perkembangan bumi,
geologi, masih sama sekali belum diketahui, dan konsepsi bahwa
makhluk2 alam yang bernyawa di hari ini adalah hasil guatu rentetan
perkembangan yang panjang dari yang sederhana ke yang rumit,
pada waktu itu sama sekali tidak dapat dikemukakan secara ilmiah.
Oleh sebab itu pendirian yang tidak historis terhadap alam tidak
dapat dielakkan. Semakin kuranglah alasan kita untuk mencela
para ahli filsafat abad ke-18 tentang hal itu, karena hal yang
sama terdapat pada Hegel. Menurut Hegel, alam, sebagai “penjelmaan”
semata diri ide, tidak mampu berkembang dalam waktu hanya mampu
memperbesar kelipatgandaannya dalam ruang, sehingga alam bersamaan
dan berdampingan satusamalain memperlihatkan semua tingkat
perkembangan yang terkandung di dalamnya, dan ditakdirkan mengalami
pengulangan yang kekal-abadi dari proses-proses yang itu2 juga.
Hal yang tak masuk akal ini, yaitu perkembangan dalam ruang, tetapi
yang lepas dari waktu - syarat fundamental bagi semua perkembangan
- dipaksakan oleh Hegel pada alam justru ketika geologi, embriologi,
fisiologi tumbuh2an dan hewan, serta ilmu kimia organik sedang
dibangun, dan ketika dimana-mana berdasarkan ilmu2 baru ini sedang
tampil ramalan2 gemilang dari teori evolusi yang datang kemudian
(misalnya; Goethe dan Lamarck). Tetapi sistim menuntutnya; maka itu
metode, demi kepentingan sistim, harus menjadi tidak jujur
terhadap dirinya sendiri.
Konsepsi tidak-historis yang sama berkuasa juga di bidang sejarah.
Di bidang itu perjuangan melawan sisa2 Zaman Tengah memburemkan
pandangan. Zaman Tengah dianggap sebagai interupsi sejarah belaka
selama seribu tahun kebiadaban umum. Kemajuan besar yang dibuat
dalam Zaman Tengah - peluasan wilayah kebudayaan Eropa, bangsa-bangsa
besar yang berdayahidup sedang terbentuk di wilayah itu damping-mendampingi,
dan akhirnya kemajuan teknik yang luar biasa pada abad ke-14 dan
ke-15 - semua ini tidak dilihat. Jadi tidak dimungkinkan adanya
pengertian rasionil tentang saling-hubungan kesejarahan yang
besar, dan sejarah paling banyak menjadi suatu kumpulan contoh-contoh
dan ilustrasi2 untuk digunakan oleh para ahli filsafat.
Penjaja2 yang melakukan pemvulgaran, yang di Jerman pada tahun
limapuluhan berkecimpung dalam materialisme, sama sekali tidak
mengatasi keterbatasan guru2 mereka itu. Seluruh kemajuan ilmu2
alam yang sementara itu telah dicapai bagi mereka hanyalah bukti2
baru saja yang dapat digunakan untuk menentang adanya pencipta
dunia; dan, memang, mereka sama sekali tidak menjadikan pengembangan
teori itu lebih jauh sebagai usaha mereka. Walaupun idealisme
sudah tidak bisa berkembang lagi dan mendapat pukulan yang mematikan
dari Revolusi 1848, ia mempunyai kepuasan melihat bahwa materialisme
untuk waklu itu sudah tenggelam lebih dalam lagi. Tidak dapat
disangkal bahwa Feuerbach adalah benar ketika dia menolak memikul
tanggungjawab atas materialisme itu; hanya dia semestinya tidak
mencampurbaurkan ajaran2 pengkhotbah2 berkelilling itu dengan
materialisme pada umumnya.
Tetapi, disini, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama,
semasa hidup Feuerbachpun, ilmu2 alam masih berada dalam proses
pergolakan yang hebat, pergolakan yang baru selama limabelas tahun
yang akhir2 ini mencapai kesimpulan relatif yang membawa kejelasan.
Bahan2 ilmiah baru telah diperoleh dalam ukuran yang belum pernah
terdengar hingga kini, tetapi penetapan saling-hubungan, dan dengan
demikian soal membawa ketertiban ke dalam kekacauan penemuan2
yang dengan cepatnya susul-menyusul, baru akhir2 ini menjadi
mungkin. Memang benar bahwa Feuerbach semasa hidupnya masih sempat
menyaksikan ketiga penemuan yang menentukan - penemuan sel, transformasi
energi dan teori evolusi, yang diberi nama menurut Darwin. Tetapi
bagaimana seorang ahli filsafat yang kesepian, yang hidup dalam
kesunyian desa, dapat secara memuaskan mengikuti perkembangan2
ilmiah guna menghargai menurut sepenuh nilainya penemuan2 yang
sarjana2 ilmu2 alam sendiri pada waktu itu masih membantahnya
atau tidak tahu bagaimana menggunakannya sebaik-baiknya? Kesalahan
tentang ini semata-mata terletak pada syarat2 yang menyedihkan
yang terdapat di Jerman, yang mengakibatkan tukang2 tindas-kutu
eklektis yang melamun telah menempati mimbar2 filsafat, sedangkan
Feuerbach yang menjulang tinggi diatas mereka semua, harus
tinggal diudik dan membusuk disuatu desa kecil. Maka itu bukanlah
salah Feuerbach bahwa konsepsi historis tentang alam, yang kini
sudah mungkin dan yang menyingkirkan segala keberatsebelahan
materialisme Perancis, tetap tak tercapai olehnya.
Kedua, Feuerbach memang tepat dalam menyatakan bahwa materialisme
alam-ilmiah yang eksklusif adalah sesungguhnya dasar dari bangunan
pengetahuan manusia, tetapi bukan bangunan itu sendiri.
Karena kita tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi juga di dalam
masyarakat manusia, dan inipun, tidak kurang daripada alam, mempunyai
sejarah perkembangannya dan ilmunya. Oleh sebab itu soalnya
ialah membikin ilmu tentang masyarakat, yaitu jumlah keseluruhan
dari apa yang dinamakan ilmu-ilmu sejarah dan filsafat, selaras dengan
dasar materialis, dan membangunnya kembali di atas dasar itu.
Tetapi tidak ditakdirkan bahwa Feuerbachlah yang melakukan hal
yang demikian itu. Meskipun ada “dasar”nya, dia disini
tetap terikat oleh belenggul2 idealis yang tradisionil, suatu
kenyataan yang dia akui dengan kata2 berikut ini : “Kebelakang
saya setuju dengan kaum materialis, tetapi kedepan tidak!”
Tetapi disini Feuerbach sendirilah yang tidak maju “kedepan”,
ke lapangan sosial, yang tidak dapat melampaui pendiriannya tahun
1840 atau 1844. Dan lagi ini terutama disebabkan oleh pengasingan
diri yang memaksa dia, yang, diantara semua filsuf, adalah yang
paling cenderung kepada pergaulan, kemasyarakatan, untuk menghasilkan
pikiran2 dari kepalanya yang kesepian itu dan bukan sebaliknya,
yaitu dari pertemuan2 yang bersahabat dan bermusuhan dengan orang2
lain yang sekaliber dengan dia. Kelak akan kita lihat secara
mendetail seberapa banyak dia tetap seorang idealis di dalam bidang
itu.
Hanya perlu ditambahkan lagi disini bahwa Starcke mencari idealisme
Feuerbach di tempat yang salah. “Feuerbach adalah seorang idealis;
dia percaya akan kemajuan umat manusia.” (hlm. 19). “Dasar,
bangunan bawah dari keseluruhannya, bagaimanapun tetap idealisme.
Realisme bagi kami tidaklah lain daripada suatu perlindungan
terhadap penyelewengan2, sementara kami mengikuiti kecenderungan2
ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan akan kebenaran
dan keadilan merupakan kekuatan2 ideal?” (hlm. VIII).
Pertama, idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada
pengejaran tujuan2 ideal. Tetapi, ini seharusnya paling2 menyangkut
idealisme Kant dan “imperatif kategoris”nya, sebaliknya,
Kant sendiri menyebut filsafatnya “idealisme transcendental”;
dan sekali-kali bukan karena dia di dalamnya juga mempersoalkan
cita2 etika, tetapi karena alasan2 yang lain samasekali, sebagaimana
Starcke akan ingat. Takhayul bahwa idealisme filsafat bersendikan
kepercayaan akan cita2 etika, yaitu cita2 sosial, timbul diluar
filsafat, dikalangan kaum filistin Jerman, yang mengapalkan
diluar kepala beberapa bagian kebudayaan filsafat yang mereka perlukan
dari syair2 Skhiller. Tidak seorangpun yang lebih keras mengecam
“imperatif kategoris” Kant yang impoten, impoten karena dia
menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi
kenyataan - tidak seorangpun yang lebih kejam mencemoohkan
kegairahan filistin yang sentimental akan cita2 yang tak dapat
direalisasi yang diajukan oleh Skhiller daripada justru Hegel,
orang idealis yang sempurna itu. (Lihat misalnya, bukunya Fenomenologi).
Kedua, kita sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan
bahwa segala sesuatu yang membikin manusia bertindak harus melalui
otak mereka - bahkan makan dan minum, yang mulai sebagai akibat
dari rasa lapar atau rasa haus hanya disampaikan melalui otak dan
berakhir sebagai hasil rasa puas yang juga disampaikan melalui
otak. Pengaruh2 dunia luar terhadap manusia menyatakan dirinya
di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan, pikiran,
rangsang, kemauan - pendek kata, sebagai “kecenderungan2 ideal”,
dan dalam bentuk ini menjadi “kekuatan2 ideal”. Maka itu,
jika seseorang harus dianggap idealis karena dia mengikuti “kecenderungan2
ideal” dan mengakui bahwa “kekuatan2 ideal” mempunyai
pengaruh terhadap dia, maka sietiap orang yang agak normal perkembangannya
adalah seoreang idealis sejak lahirmya dan jika demikian apakah
masih bisa ada seorang materialis?
Ketiga, keyakinan bahwa kemanusiaan, sekurang-kurangnya pada saat
sekarang ini, dalam keseluruhannya bergerak menurut arah yang
maju tidak mempuniai sangkut paut apapun dengan antagonisme antara
materialisme dan idealisme. Kaum materialis Perancis, tidak
kurang daripada orang2 deis seperti Voltaire dan Rousseau menganut
keyakinan itu dalam derajat yang hampir fanatik, dan kerapkali
telah membuat pengorbanan perorangan yang paling besar untuk keyakinan
itu. Jika pernah ada orang yang mengabdikan seluruh hidupnya
kepada “kegairahan akan kebenaran dan keadilan” - menggunakan
kata2 itu dalam arti yang baik - maka orang itu adalah Diderot,
misalnya. Oleh sebab itu, jika Starcke menyatakan bahwa semua
itu adalah idealisme, maka ini hanya membuktikan bahwa bagi dia
kata materialisme, dan seluruh antagonisme antara kedua aliran
itu telah hilang segala artinya.
Kenyataannya ialah bahwa Starcke, walaupun barangkali secara
tidak sadar, dalam hal ini memberi konsesi yang tidak dapat diampuni
kepada prasangka filistin yang tradisionil mengenai perkataan
materialisme, yang diakibatkan oleh pemfitnahan kata itu dalam
waktu lama oleh pendeta2. Perkataan materialisme oleh si filistin
diartikan kerakusan, kemabukan, mata-keranjang, nafsu berahi,
kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba
dan penipuan bursa - pendeknya, segala kejahatan busuk yang dia
sendiri lakukan secara sembunyi2. Perkataan idealisme diartikannya
kepercayaan akan kebajikan, filantropi universal dan secara
umum suatu “dunia yang lebih baik,” yang dia sendiri banggakan
dimuka orang lain, tetapi yang dia sendiri hanya percaya selama
dia berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan
sebagai akibat dari ekses2 “materialis”nya yang biasa.
Waktu itulah dia menjanjikan lagu kesayangannya: Manusia itu
apa ? - Setengah binatang, setengah malaikat.
Adapun tentang hal2 lainnya, Starcke dengan bersusahpayah membela
Feuerbach terhadap serangan2 dan ajaran2 para asisten profesor
yang berteriak2, yang kini di Jerman memakai nama ahli filsafat.
Bagi orang2 yang berminat akan tembuni dari filsafat klasik Jerman,
ini sudah tentu merupakan soal yang penting; bagi Starcke sendiri
mungkin nampaknya peritu. Tetapi, kami tak akan menyusahkan pembaca
dengan itu.
Catatan
[2-1] Di kalangan orang liar dan orang2 biadab yang tingkat perkembangannya
lebih rendah masih umum terdapat ide bahwa bentuk manusia yang
tampil di dalam mimpi adalah nyawa yang untuk sementara waktu
meninggalkgn tubuh2 manusia itu; oleh sebab itu, orang yang sesungguhnya
yang bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh wujudnya
di dalam mimpi terhadap orang yang mimpi. Imthurn menemukan kepercayaan
yang seperti itu misalnya dikalangan orang Indian
di Guicma dalam tahun 1884. (Keterangan Engels).
[2-2] Planet yang dimaksud ialah Neptunus, ditemukan pada tahun
1846 oleh Johann Gaililei, seorang ahli astronomi di Observatorium
Berlin. - red.
[2-3] Teori phlogistis: teori yang berlaku di bidang ilmu kimia
dalam abad2 ke-17 dan ke-18 dan yang menyatakan bahwa pembakaran
terjadi karena di dalam badan tertentu terdapat zat khusus yang
bernama phlogiston. - red.
[2-4] Teori yang menyatakan bahwa matahari dari planet2 berasal
dari gumpalan kabut pijar yang berputar. - red.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar